Tengah
malam nan pekat, tanpa sinar berbinar, engkau bernyanyi, bercengkrama dengan
sunyinya kegelapan nan kelam.
Kau
bertutur kata selayaknya ibu pertiwi yang merana, seraya menunggu seseorang
diseberang sana untuk melihatnya.
Pun
haru biru tersaji, teriakan kepedihan tergambar dari hati, seakan langit runtuh
menimpa semua pondasi.
Kemana
engkau, dimana engkau, mengapa semua terjadi? terpampang klisenya sebuah drama
yang penuh dengan ironi.
Kau
berharap mengubah api menjadi air, kau bukan tuhan, api akan selamanya jadi
api, selainnya hanya ada padam dan itulah yang terjadi.
Nyanyianmu
tak sumbang, namun bukan merdunya yang dinanti, dimana seharusnya semua
lirik yang penuh arti?
Dan
sang fajar tak kunjung datang, mata-pun terlelap jua, impikan keajaiban dan
harapan akan kesadaran yang tak kunjung tiba.
Mungkin
nanti ketika sinar matahari mencium kening-mu, kau akan tersadar kepedihanmu
ialah yang ciptakan semua itu.
Ironis
memang ketika dedikasi dan kesungguhan tak dihiraukan dibandingkan dengan fisik
yang membutakan.
Walaupun
berat hati ini untuk mengatakan, keraguan tentang kapan hari itu akan datang.
Kini
ubahlah semua lirik lirih pedih-mu, karna semua itu tak sepadan dengan lukaku.