Rabu, 05 Februari 2014

Nyanyian Malam




Tengah malam nan pekat, tanpa sinar berbinar, engkau bernyanyi, bercengkrama dengan sunyinya kegelapan nan kelam. 

Kau bertutur kata selayaknya ibu pertiwi yang merana, seraya menunggu seseorang diseberang sana untuk melihatnya.

Pun haru biru tersaji, teriakan kepedihan tergambar dari hati, seakan langit runtuh menimpa semua pondasi.

Kemana engkau, dimana engkau, mengapa semua terjadi? terpampang klisenya sebuah drama yang penuh dengan ironi.

Kau berharap mengubah api menjadi air, kau bukan tuhan, api akan selamanya jadi api, selainnya hanya ada padam dan itulah yang terjadi.

Nyanyianmu tak sumbang, namun bukan merdunya yang dinanti, dimana  seharusnya semua lirik yang penuh arti?

Dan sang fajar tak kunjung datang, mata-pun terlelap jua, impikan keajaiban dan harapan akan kesadaran yang tak kunjung tiba.

Mungkin nanti ketika sinar matahari mencium kening-mu, kau akan tersadar kepedihanmu ialah yang ciptakan semua itu.

Ironis memang ketika dedikasi dan kesungguhan tak dihiraukan dibandingkan dengan fisik yang membutakan.

Walaupun berat hati ini untuk mengatakan, keraguan tentang kapan hari itu akan datang.

Kini ubahlah semua lirik lirih pedih-mu, karna semua itu tak sepadan dengan lukaku.